![]() |
| Safira Ahmad (Kabid PPPA HMI Komuni Periode 2024-2025) |
Malang, LAPMI - Ironi adalah bumbu paling pahit dalam politik. Di Indonesia, ironi itu terwujud dalam sebuah kontradiksi sejarah yang membelah nalar keadilan: negara yang sama, dalam waktu yang berbeda, memberikan gelar pahlawan kepada korban buruh yang dibunuh, Marsinah dan kepada pemimpin tertinggi yang kekuasaannya bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut .
Marsinah, seorang aktivis buruh yang suaranya dibungkam dengan keji pada tahun 1993, kini diabadikan sebagai salah satu simbol keberanian melawan penindasan. Ia adalah martir, pahlawan sejati yang membela hak normatif buruh dari cengkeraman kekuasaan otoriter Orde Baru. Namun, di sisi lain, wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, yang merupakan pucuk pimpinan dari rezim penindasan itu, terus dihidupkan.
Ironisnya, ketika penguasa memberikan gelar pahlawan kepada Marsinah, di sisi lain mereka juga memberikan gelar pahlawan kepada penguasa yang bertanggung jawab atas pembunuhannya.
Ini bukan sekadar kekhilafan birokrasi, melainkan sebuah pertunjukan pengkhianatan terhadap akal sehat dan nurani bangsa. Soeharto adalah simbol kekuasaan yang dibangun di atas ribuan tulang belulang, mulai dari tragedi 1965, pembungkaman aktivis, hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melumpuhkan.
Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto bukan bentuk penghormatan, tetapi penghinaan terhadap sejarah.
Bagaimana mungkin tangan yang berlumur darah rakyat yang bertanggung jawab atas sistem yang membungkam dan membunuh Marsinah, Udin, dan banyak korban lainnya diberi mahkota kehormatan oleh negara yang katanya demokratis? Ini adalah tindakan amnesia historis yang disengaja, sebuah upaya untuk membersihkan dan memutihkan dosa-dosa Orde Baru.
Gelar Pahlawan Nasional adalah standar moral tertinggi yang diberikan negara. Jika standar itu bisa diberikan kepada sosok yang hingga akhir hayatnya tidak pernah diadili atas kejahatan kemanusiaan yang terbukti terjadi di bawah komandonya, maka gelar itu tidak lagi berarti kehormatan, melainkan stempel legalitas atas penindasan.
Ini bukan sekadar soal gelar, tapi soal keberanian melawan lupa. Pemberian gelar ini akan menjadi upaya sistematis untuk membenarkan narasi penguasa yang pernah represif. Rakyat Indonesia, terutama generasi muda, harus menolak narasi yang merusak ingatan kolektif ini. Penghormatan sejati kepada para pahlawan seperti Marsinah hanya dapat ditegakkan dengan menolak pemuliaan terhadap para penindasnya. Keadilan tidak akan pernah tercapai jika pembunuh dan korban disandingkan dalam altar kehormatan yang sama.
Kita menolak narasi yang merusak ingatan kolektif ini. Penghormatan sejati kepada para pahlawan seperti Marsinah hanya dapat ditegakkan dengan menolak pemuliaan terhadap para penindasnya. Keadilan tidak akan pernah tercapai jika pembunuh dan korban disandingkan dalam altar kehormatan yang sama. Memuliakan Soeharto berarti secara tidak langsung menyatakan bahwa pembunuhan terhadap aktivis buruh, seperti yang terjadi pada Marsinah, adalah konsekuensi yang dapat ditoleransi demi stabilitas kekuasaan.
Editor : Fery Abdul Aziz

Komentar
Posting Komentar