![]() |
| Nazia Kamala Kasim (Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik 2025 Universitas Tribhuwana Tungga Dewi Malang) |
Malang, LAPMI - Musim penerimaan mahasiswa baru seharusnya menjadi masa-masa yang paling dinantikan: dipenuhi janji-janji persahabatan, eksplorasi ilmu, dan langkah awal menuju kemandirian. Namun, bagi ribuan mahasiswa baru di berbagai institusi, euforia itu seringkali harus dibayar mahal. Di balik foto-foto ceria dan slogan "solidaritas," tersimpan cerita sunyi tentang bentakan, intimidasi, dan tugas-tugas merendahkan yang terjadi dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) atau orientasi kampus.
Sejatinya, kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) atau orientasi kampus seharusnya menjadi sarana yang menyenangkan untuk membantu mahasiswa baru beradaptasi dengan lingkungan akademik dan sosial. Namun, harapan ini seringkali pupus karena maraknya perpeloncoan (hazing) dan pembulian (bullying) di banyak institusi, yang justru meninggalkan dampak negatif secara mental dan fisik pada para peserta.
Kekerasan ini seringkali dibungkus rapi dengan label "tradisi" atau dalih klise: "Pembentukan mental yang kuat" Mitos keliru inilah yang menjadi akar masalah, menjustifikasi praktik-praktik yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip pendidikan itu sendiri. Pertanyaannya, benarkah trauma dan tekanan adalah harga yang harus dibayar untuk menjadi pribadi yang tangguh dan solider? Ataukah ini hanyalah krisis moral dan kesehatan mental yang terus diwariskan dari generasi ke generasi?
Sementara itu, Pembulian (Bullying) merupakan perilaku agresif yang disengaja dan berulang yang melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan. Dalam konteks Diklat, ini terjadi ketika senior, sebagai pihak yang memiliki kuasa, menargetkan junior (korban) dengan tindakan seperti intimidasi verbal (bentakan, ejekan), fisik (kekerasan), atau psikologis (pengucilan, pemaksaan, ancaman), yang jelas menyebabkan tekanan dan trauma. Secara praktis, perpeloncoan yang buruk seringkali mengandung unsur pembulian di dalamnya. Bahkan, menurut penelitian Aldi Putra, bullying di perguruan tinggi sering disebut sebagai "perpeloncoan" di mana tindakan sewenang-wenang oleh senior merugikan junior secara mental dan psikis.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pengaruh pengajaran itu harusnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir dan batin, yang jelas bertentangan dengan praktik perpeloncoan yang melibatkan kekerasan dan pemaksaan karena tidak memerdekakan, melainkan menekan. Hasanudin Abdurakhman juga menyoroti bahwa praktik ini sudah menjadi "ritual" yang didasari mitos keliru. Ia menekankan bahwa mentalitas yang sebenarnya perlu dibangun untuk mahasiswa baru di era perubahan cepat adalah kemampuan beradaptasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, bukan ketangguhan karena terbiasa dibentak-bentak.
Untuk solusi praktisnya, psikolog Prilya menyarankan agar budaya senior-junior yang merusak harus diubah. Sistem orientasi seharusnya menumbuhkan rasa kekeluargaan, misalnya dengan konsep kakak asuh–adik asuh, agar mahasiswa baru merasa diterima dan aman, bukan diintimidasi.
Maka, sudah saatnya institusi pendidikan berhenti memelihara mitos "pembentukan mental" yang sarat kekerasan. Orientasi kampus harus berfokus pada pengenalan lingkungan, penumbuhan soft skills, dan pembangunan jejaring yang positif, bukan lagi menjadi panggung unjuk kuasa yang melahirkan trauma.
Dewantara, K. H. (n.d.). Dasar-Dasar Pendidikan. (Merujuk pada filosofi dan prinsip pendidikan yang memerdekakan).
Prilya. (2024, 1 Agustus). Mengubah Budaya Senioritas Kampus: Konsep Kakak Asuh-Adik Asuh. Wawancara. (Merujuk pada pernyataan psikolog mengenai solusi orientasi).
Putra, A. (2021). Penegakan Hukum Pelaku Pelonco Bullying terhadap Mahasiswa Baru (Perspektif Sosiologi Hukum). Jurnal Hukum & Keadilan, 10(2), 45-60.
Utomo, A. B. (2023, 26 September). Sejarah Perpeloncoan di Indonesia dan Dunia, Bullying Berkedok 'Tradisi'. Konde.co.
Editor : Muhammad Ali Makki

Komentar
Posting Komentar