Langsung ke konten utama

Cak Nur: Arsitek Pembaharuan Islam Inklusif dan Pelopor Pluralisme di Indonesia

Daeng Abdulrahman Ramadhan
 (Kader HMI Kom ISIP UMM)

Malang, LAPMI - Islam Yes, Partai Islam No." Sebuah seruan kontroversial yang mengguncang dunia politik dan keagamaan Indonesia di tahun 70-an. Siapa di balik kalimat berani ini? Dia adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), cendekiawan Muslim dari Jombang yang menolak Islam diseret ke dalam kekakuan politik. 

Beliau bukan sekadar akademisi, tetapi seorang arsitek pemikiran yang menantang tradisi demi menyelamatkan substansi ajaran Islam. Pernahkah diantara kalian merasa terjebak antara keyakinan agama yang kaku dan tuntutan zaman yang berubah? Di sinilah Cak Nur hadir sebagai pelopor.

Lahir dari lingkungan pesantren yang kental, Cak Nur justru memilih jalan sunyi yang revolusioner. Semasa muda, ia adalah Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selama dua periode, menjadikannya tokoh aktivis yang karismatik. 

Namun, di puncak karir aktivismenya, ia memilih melangkah lebih jauh, menempuh pendidikan doktoral di University of Chicago, Amerika Serikat.

Kepulangannya bukan hanya membawa ijazah semata, melainkan membawa visi baru tentang Keislaman dan Keindonesiaan. Beliau melihat tantangan terbesar bangsa adalah eksklusivisme dan ketidakmampuan umat Islam beradaptasi dengan modernitas.

Cak Nur kemudian memperkenalkan gagasan terkemukanya tentang sekularisasi (bukan membuang agama, tapi membebaskan nilai-nilai duniawi dari klaim kesucian yang sempit) dan yang paling fenomenal Pluralisme Agama. 

Ide ini, meski mulanya menuai badai kritik, akhirnya menjadi pijakan utama bagi Islam yang Inklusif, Toleran, dan Rahmatan lil 'Alamin (rahmat bagi seluruh alam) di Indonesia.

Dalam konteks kekayaan budaya yang ada di Indonesia, penyebaran serta ajaran agama Islam kini memiliki banyak versi, baik itu dengan cara tradisional maupun modern. Hal ini selaras dengan satu ungkapan dari Cak Nur, Beliau berargumen dalam buku Api Islam karya Ahmad Gaus bahwa:

"Tuhan adalah Kebenaran yang Satu (The One Truth), sementara agama dan serta tradisi penyebaran hanyalah beragam jalan menuju Kebenaran yang sama (Ways to the One Truth)."

Bayangkan sebuah masyarakat di mana perbedaan bukan lagi sumber konflik, melainkan kekayaan yang produktif. Ini adalah warisan nyata dari Cak Nur sebagai Ikon Pembaharuan Islam Inklusif. 

Cak Nur juga merupakan pribadi intelektual yang berani. Beliau membuktikan bahwa intelektual sejati harus berani berkata benar, bahkan jika itu kontroversial, demi kemaslahatan umat dan bangsa.

Keberaniannya menyarankan Presiden Soeharto untuk mundur pada krisis 1998 menunjukkan peran moral dan politiknya yang luar biasa. Dengan fondasi pluralisme yang konkret, melalui Yayasan Wakaf Paramadina dan Universitas Paramadina yang ia dirikan dan pimpin, Cak Nur tidak hanya berteori, tetapi menciptakan ruang nyata untuk dialog, keterbukaan, dan pendidikan yang menghargai keragaman.

Warisan Moderasi pemikirannya adalah cetak biru untuk moderasi beragama di Indonesia, sebuah pendekatan yang seimbang, tidak ekstrem fundamentalis maupun liberal tanpa batas. 

Beliau mengajarkan kita untuk kembali pada ajaran dasar tauhid (mengesakan Tuhan) sebagai common platform yang mempersatukan.

Cak Nur mengajarkan kita bahwa menjadi Muslim yang taat adalah menjadi warga negara yang baik, terbuka, dan bertanggung jawab. Beliau adalah simbol bahwa Ketaatan dan Keterbukaan bisa berjalan beriringan.

Warisan Cak Nur adalah sebuah panggilan. Jika kita mendambakan Indonesia yang damai, toleran, dan maju, maka semangatnya harus terus dihidupkan.

Kini Pemikirannya tetap hidup dan bisa kita temukan melalui karya-karyanya, seperti buku"Islam, Doktrin dan Peradaban" atau gagasan tentang Sekularisasi dan Pluralisme. Dengan ide dan gagasan beliau perlu kita pahami bahwa beragama yang moderat dimulai dari keberanian untuk berpikir kritis.

Selain itu, peran Cak Nur sebagai jembatan antara kelompok agama, antara Islam dan negara, antara tradisi dan modernitas bisa kita tiru dalam menjalankan hidup bernegara dan beragama. Kekayaan budaya harusnya menjadi instrumen untuk memupuk rasa persaudaraan dan memperkuat persatuan dan kesatuan.

Terimalah pluralitas sebagai keniscayaan dan tingkatkan pluralisme sebagai nilai positif. Dukung Ruang Moderasi, ambil peran dalam lembaga pendidikan, organisasi, atau komunitas yang menjunjung tinggi dialog, seperti yang dicita-citakan di Paramadina. 

Jadikan diri kita sebagai "Cak Nur" di bidang kita masing-masing. Seorang pemimpin yang berakar kuat pada nilai-nilai luhur namun berani berinovasi dan membuka cakrawala, demi menghadirkan Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.


Penulis : Daeng Abdulrahman Ramadhan
Editor   : Amrozi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Membongkar Mitos: Perpeloncoan dan Pembulian dalam Diklat Jurusan Bukanlah "Pembentukan Mental"

Nazia Kamala Kasim  (Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik 2025 Universitas Tribhuwana Tungga Dewi Malang) Malang, LAPMI - Musim penerimaan mahasiswa baru seharusnya menjadi masa-masa yang paling dinantikan: dipenuhi janji-janji persahabatan, eksplorasi ilmu, dan langkah awal menuju kemandirian. Namun, bagi ribuan mahasiswa baru di berbagai institusi, euforia itu seringkali harus dibayar mahal. Di balik foto-foto ceria dan slogan "solidaritas," tersimpan cerita sunyi tentang bentakan, intimidasi, dan tugas-tugas merendahkan yang terjadi dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) atau orientasi kampus. Sejatinya, kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) atau orientasi kampus seharusnya menjadi sarana yang menyenangkan untuk membantu mahasiswa baru beradaptasi dengan lingkungan akademik dan sosial. Namun, harapan ini seringkali pupus karena maraknya perpeloncoan (hazing) dan pembulian (bullying) di banyak institusi, yang justru meninggalkan dampak negatif secara mental ...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...