Mijar Alif Fahmi(Content Creator)
Antara Fitnah, Fakta, dan Cemburu
Malang, LAPMI - Hampir di setiap masa penerimaan mahasiswa baru, isu tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kerap mencuat: “HMI itu sesat”, “HMI tempat yang berbahaya”, “HMI penuh konflik”, atau “bergabung di HMI hanya bikin ribut dan keras kepala.”
Tuduhan-tuduhan seperti itu sering kali lahir dari mereka yang belum mengenal HMI secara utuh, bahkan belum pernah sekalipun mengikuti proses kaderisasinya. Tidak sedikit mahasiswa baru yang kemudian mempertanyakan, “Mengapa organisasi sebesar HMI justru banyak dicap negatif?” “Apakah benar HMI tempat yang keras, penuh debat, dan tidak nyaman?” “Mengapa banyak alumni HMI bisa jadi pemimpin, tapi di sisi lain ada yang menuduhnya sesat?” Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul. Namun sebelum menjawabnya, mari kita melihat HMI dari kacamata sejarah dan kenyataan bukan prasangka dan kabar burung.
Sejarah Singkat HMI: Lahir dari Semangat Islam dan Nasionalisme
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta, di tengah gejolak revolusi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Diprakarsai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia), bersama kawan-kawannya, HMI lahir dari keinginan tulus mahasiswa Islam untuk berkontribusi pada agama dan bangsa. HMI muncul bukan sekadar sebagai organisasi, tetapi sebagai gerakan intelektual dan moral yang menjawab tantangan zaman: bagaimana mahasiswa Islam dapat menggabungkan nilai keislaman dengan semangat kebangsaan.
Tujuan HMI
Dalam perjalanan panjangnya, HMI menegaskan tujuan yang menjadi pedoman kaderisasinya: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.” Tujuan ini menegaskan bahwa HMI ingin melahirkan manusia intelektual (akademis) yang kreatif (pencipta) dan peduli (pengabdi). Semua proses kaderisasi diarahkan agar kader menjadi manusia paripurna berilmu, beriman, dan berkontribusi bagi masyarakat. Menariknya, tujuan ini sejalan dengan cita-cita mahasiswa baru pada umumnya: mencari ilmu, mengembangkan diri, dan bermanfaat bagi sesama. Maka sebenarnya, mahasiswa baru yang ingin tumbuh menjadi pribadi berilmu dan berdaya justru sedang menapaki arah yang sama dengan tujuan HMI.
HMI dan Tuduhan Sesat: Antara Ketidaktahuan dan Kecemburuan
Banyak yang menuduh HMI “sesat” atau “berbahaya”. Ada yang menganggap HMI bukan tempat yang nyaman karena penuh dinamika, perdebatan, dan keras dalam pembinaan. Namun, justru di situlah letak nilai dan keunggulannya. HMI bukan tempat yang nyaman karena kenyamanan tidak melahirkan perubahan. HMI adalah ruang tempaan tempat mahasiswa diuji untuk berpikir kritis, berdialog tajam, dan berlatih menghadapi realitas hidup yang keras. Di HMI, seseorang tidak dimanjakan; ia dididik untuk menjadi pemikir, pejuang, dan pemimpin.
Adapun tuduhan bahwa HMI berada di bawah naungan ormas Islam tertentu seperti NU, Muhammadiyah, atau Masyumi, adalah kekeliruan besar. HMI sejak awal berdiri menegaskan dirinya sebagai organisasi independen. HMI tidak tunduk pada satu aliran, mazhab, atau kelompok Islam manapun. Sebaliknya, HMI menjadi wadah yang menerima seluruh fraksi Islam baik dari NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, hingga kalangan non-ormas yang beragam pemikiran. Di sinilah letak kekuatan HMI: menyatukan yang berbeda demi tujuan bersama, Islam yang berperadaban dan Indonesia yang bermartabat.
Proses di HMI: Tempat Ditempa, Bukan Dimanja
Sering kali mahasiswa baru mengira bahwa HMI adalah organisasi yang “keras”, “tidak nyaman”, bahkan “berbahaya”. Padahal, justru karena itulah HMI berbeda. Ia tidak membentuk mental penonton, tapi membangun mental pejuang.
Ada tiga aspek utama dalam proses kaderisasi di HMI:
1. Aspek Akademik dan Intelektual
Kader HMI digembleng untuk berpikir kritis dan ilmiah. Diskusi, kajian, dan pelatihan kepemimpinan dilakukan dengan pendekatan akademis. Mahasiswa dilatih menulis, membaca, dan menganalisis isu sosial, ekonomi, dan politik.
2. Aspek Keislaman
HMI menanamkan nilai Islam yang rasional dan progresif. Kader memahami Islam bukan hanya dalam ritual, tapi juga dalam etika berpikir, keadilan sosial, dan tanggung jawab kemanusiaan.
3. Aspek Sosial dan Kepemimpinan
Melalui advokasi, bakti sosial, dan pengabdian masyarakat, kader HMI belajar memimpin dengan nilai. Mereka menjadi agen perubahan, bukan sekadar pengamat.
Karena itu, HMI tidak nyaman bagi yang ingin dimanja, tapi melahirkan pemimpin bagi yang siap ditempa.
Tokoh-tokoh yang Lahir dari Rahim HMI
Sejarah membuktikan bahwa banyak pemimpin bangsa dan pemikir besar yang benar-benar lahir dari proses kaderisasi HMI, antara lain tokoh seperti Akademisi & Intelektual, Politisi & Negarawan, Pebisnis & Profesional dan Influencer & Aktivis Muda. Mereka semua adalah saksi nyata bahwa HMI bukan tempat kesesatan, melainkan ruang pembentukan karakter dan peradaban. (Kalau penasaran sama tokoh-tokohnya boleh searching aja wkwk)
Kontribusi HMI bagi Mahasiswa dan Bangsa
Sejak berdirinya hingga kini, HMI selalu hadir dalam arus sejarah bangsa:
• 1947–1950-an: Berperan mempertahankan kemerdekaan dan mengokohkan ajaran Islam.
• Era Orde Lama & Orde Baru: Menjadi benteng pemikiran Islam modern dan penggerak reformasi sosial.
• Era Reformasi: Kader HMI terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa 1998 yang menumbangkan tirani kekuasaan.
• Era Modern: HMI terus berinovasi melalui gerakan digital, ekonomi kreatif, dan penguatan literasi generasi muda.
Bagi mahasiswa, HMI memberikan ruang untuk menjadi intelektual berkarakter, religius, dan berorientasi sosial. Di saat kampus hanya memberi ilmu, HMI menambahkan nilai dan kesadaran.
Kesimpulan: Mengapa Mahasiswa Perlu Ber-HMI
HMI bukan tempat bagi mereka yang ingin hidup nyaman, tapi bagi mereka yang ingin bermakna. HMI bukan organisasi yang menyesatkan, tapi organisasi yang menyadarkan. HMI tidak mengajarkan fanatisme, melainkan mengajarkan berpikir dan beriman secara rasional.
Bagi mahasiswa baru yang sedang mencari jati diri, HMI adalah ruang untuk membentuk karakter, memperkuat intelektualitas, dan memperdalam spiritualitas. Tujuan HMI bukan hanya cita-cita organisasi, tetapi juga panggilan bagi setiap mahasiswa yang ingin hidup bermanfaat. “HMI bukan jalan yang mudah, tapi dari jalan itulah lahir para pemimpin besar bangsa ini.” “Kenapa aku harus ber-HMI?”, Jawabannya sederhana karena, HMI bukan hanya mengajarkan bagaimana menjadi mahasiswa yang cerdas, tapi juga manusia yang berperadaban dan memiliki nilai hidup. Mari ber-HMI. Jadilah bagian dari sejarah yang melahirkan perubahan.
#Jadi Jangan Ragu Ber-HmI, Mari Berhimpun di Himpunan Mahasiswa Islam #Yakin Usaha Sampai #Ayo Berpikir Bersama
Editor : Amrozi
Komentar
Posting Komentar