![]() |
Safira Ahmad (Mahasiswi Unitri) |
Malang, LAPMI - Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto tampil vokal mengutuk aksi penjarahan rumah dan instansi oleh kelompok massa tak dikenal. Ia menyebutnya sebagai tindakan kriminal, anarkis, dan bentuk kekerasan yang merusak ketertiban umum. Suaranya keras, tegas, bahkan penuh amarah. Tapi, ironisnya, amarah itu seolah lenyap saat berhadapan dengan bentuk penjarahan yang jauh lebih besar, sistematis, dan telah menggerus nadi kehidupan rakyat selama puluhan tahun: “penjarahan terhadap tanah, hutan, laut, dan sumber daya alam Indonesia”
Dalam sebuah video yang viral di media sosial, seorang aktivis yang telah menjelajahi hampir seluruh pelosok nusantara menggambarkan pemandangan yang tak pernah muncul di layar televisi: hutan di Sumatera yang digunduli untuk perkebunan sawit, tambang emas di Tumpang Pitu yang merusak gunung suci, rencana caplok lahan di sekitar Pulau Komodo untuk proyek pariwisata elit, hingga eksploitasi nikel di Papua yang mengancam pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat. Di Kalimantan, Batubara terus dikeruk. Di Sulawesi, hutan diganti smelter. Di mana-mana, alam dirampas, dan rakyat dikorbankan.
Yang membuatnya lebih pahit, semua ini bukan terjadi di bawah bayang-bayang kegelapan, melainkan dengan izin negara, dilindungi undang-undang, dan dijaga oleh aparat keamanan. Penjarahnya bukan preman berkostum gelap, melainkan perusahaan raksasa, banyak diantaranya dipimpin oleh mantan pejabat, bahkan masih terhubung erat dengan lingkaran kekuasaan saat ini.
Dan di tengah semua ini, Presiden Prabowo diam. Ia bisa marah besar saat ada yang merusak instansi dan rumah para penjabat publik , tapi hampir tak bersuara saat hutan adat dibabat, sungai diracun limbah tambang, atau nelayan kehilangan mata pencaharian karena reklamasi. Ia bisa mengecam aksi massa yang menjarah, tapi tak pernah menyebut bahwa “penyerobotan tanah rakyat oleh korporasi dengan izin pemerintah adalah bentuk penjarahan paling keji”
Lebih dari itu, banyak dari kebijakan yang mempercepat eksploitasi ini justru mendapat dukungan kuat dari rezim pemerintahannya. Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo menjadi salah satu penggerak utama kebijakan hilirisasi nikel yang diklaim sebagai langkah menuju kemandirian industri. Tapi, di balik narasi gemerlap itu, tersembunyi realitas pahit: masyarakat adat digusur, lingkungan rusak parah, dan siapa pun yang menolak langsung dihadapkan pada kriminalisasi.
Bayangkan seorang ibu kehilangan anaknya karena dituduh merusak fasilitas tambang. Seorang suami ditahan karena mempertahankan lahan keluarganya dari perusahaan sawit. Seorang nelayan tak bisa melaut karena pantainya sudah menjadi zona industri. Itu bukan pelanggaran hukum? Itu hasil dari hukum yang salah arah. Lalu, di mana letak keadilan?
Prabowo mungkin benar bahwa penjarahan fisik oleh massa adalah pelanggaran hukum. Tapi, penjarahan struktural oleh negara dan korporasi yang dilindungi hukum itu sendiri adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan dan keadilan. Dan di sinilah letak paradoksnya: seorang Presiden yang mengaku peduli pada ketertiban justru menjadi bagian dari sistem yang menertibkan rakyat kecil, sambil membiarkan penjarahan besar-besaran berjalan tanpa hambatan.
Kita butuh pemimpin yang tidak hanya marah pada kekerasan yang terlihat, tetapi juga berani melihat kekerasan yang tersembunyi. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya melindungi gedung dan aset fisik, tetapi juga melindungi hak rakyat atas tanah, air, dan masa depan mereka.
Jika Prabowo ingin konsisten, maka kemarahannya harus diperluas. Dari penjarah rumah, ke penjarah hutan. Dari penjarah toko, ke penjarah laut. Dari penjarah fisik, ke penjarah kebijakan.
Karena sejatinya, penjarahan terbesar bukan yang terjadi di permukaan tapi yang terjadi di balik izin, di bawah nama pembangunan, dan di atas penderitaan rakyat.
Dan hari ini, kita semua termasuk sang Presiden harus mulai melihatnya. Bukan hanya dengan mata, tetapi dengan hati, nurani, dan keberanian untuk mengubah sistem yang selama ini melindungi para penjarah sejati.
Editor : Ai Novia H
Komentar
Posting Komentar