![]() |
Mijar Alif Fahmi(Content Creator) |
Nilai Mahkota HmI yang Ternodai
Malang, LAPMI - Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pernah menjadi kawah candradimuka pemimpin bangsa. Dari sanalah lahir intelektual pejuang, bukan pejabat pencari belas kasihan. Namun kini, di balik papan nama struktural, beberapa kader menjelma “pangeran bermahkota” yang justru menunduk menyodorkan proposal. Mahkota jabatan menjadi topi pengemis; amanah menjadi akses, bukan perjuangan. Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah berkata, “HMI adalah tempat menempa manusia merdeka, bukan manusia penjilat.” Ironisnya, kini ada kader yang lebih sibuk melobi dana pejabat daripada mengasah gagasan untuk rakyat dan kadernya.
Mental Pengemis: Nilai HmI yang Tergadai
Jika pengemis jalanan mengulurkan tangan di lampu merah, pengemis struktural mengulurkan proposal di meja birokrat. Jas almamater hanyalah ganti baju, tetapi mentalnya sama: menggantungkan hidup pada kemurahan hati orang lain, bukan pada kemandirian organisasi. Mau tau apa contohnya ? Coba lanjut lihat di bawah ini dehh :
1. Kegiatan komisariat, Korkom, Cabang, Badko Hingga PB HmI yang selalu berbasis proposal – tanpa evaluasi sumber dana alternatif. Habis acara, habis pula semangat.
2. Cabang yang menggadaikan isu kritis – misalnya tidak mengkritik kebijakan daerah karena “sudah diberi dana bantuan”.
3. Oknum PB HMI yang melobi politisi menjelang moment tertentu – dengan imbalan “bantuan operasional”, padahal itu merusak citra independensi.
4. Agenda formalitas penuh sponsor bermasalah – diskusi tentang antikorupsi tapi dibiayai oleh pejabat yang sedang tersangkut kasus hukum.
Soe Hok Gie pernah menulis dalam catatannya: “Yang terpenting adalah kejujuran dan idealisme, bukan sekadar baju atau jabatan.” Kini, idealisme itu sering digadaikan demi tanda tangan pejabat.
Mengapa Mental Ini Terjadi?
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui teori kepemimpinan dan perilaku organisasi:
1. Teori Patronase (Clientelism) – menurut Richard Graham, hubungan patron-klien terjadi ketika pemimpin politik memberi sumber daya sebagai imbalan dukungan. Dalam HMI, pejabat menjadi patron, kader struktural jadi klien. Loyalitas dibeli dengan amplop.
2. Moral Hazard – ketika selalu ada “bantuan eksternal”, muncul perilaku malas membangun kemandirian. Jabatan struktural dipandang sebagai tiket akses dana, bukan alat menggerakkan organisasi.
3. Kepemimpinan Transaksional vs Transformasional (James MacGregor Burns) – pemimpin transaksional hanya “mengelola pertukaran”: jabatan untuk koneksi, koneksi untuk dana. Pemimpin transformasional justru memberi inspirasi, mengubah kader menjadi mandiri. Krisis HMI sekarang adalah kekurangan pemimpin transformasional.
4. Teori Ketergantungan Sumber Daya (Pfeffer & Salancik) – organisasi yang terlalu bergantung pada sumber daya eksternal cenderung tunduk pada pemberi sumber daya. HMI yang tidak punya kemandirian finansial terpaksa “jinak” di hadapan pejabat.
Dampak: HMI Kehilangan Marwah
• Kehilangan kemandirian finansial, selalu tergantung pada donatur eksternal.
• Daya kritis tumpul, suara HMI diatur oleh “siapa yang membayar”.
• Kaderisasi rusak, kader belajar bahwa sukses diukur dari “siapa kenal siapa”, bukan “apa gagasannya”.
• Tumpul secara intelektual, karena isu yang diangkat disesuaikan dengan selera pemberi dana.
• Citra publik merosot, HMI bukan lagi “watchdog bangsa”, tetapi dianggap “kelompok proposal” yang bisa diatur.
Mohammad Hatta pernah mengingatkan: “Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur” Jika HMI ikut terjerat mental pengemis, ia hanya melahirkan “orang pintar cari dana” bukan “orang jujur perjuangkan nilai”
Jalan Keluar: Mengembalikan Jiwa Pejuang
1. Kemandirian Finansial – bangun koperasi kader, usaha kreatif, dan dana abadi agar kegiatan tak bergantung proposal.
2. Budaya Intelektual Sejati – dorong riset, advokasi, dan diskusi kritis yang bebas dari intervensi sponsor.
3. Pemimpin Visioner, Bukan Pemimpin Broker – pilih ketua yang menginspirasi, bukan yang lihai “mengemis dana”.
4. Kontrol Internal yang Kuat – perkuat forum evaluasi agar setiap kader berani mengkritik perilaku oportunis dalam organisasi sendiri.
5. Revitalisasi Nilai HMI – kembalikan pemahaman bahwa jabatan struktural adalah amanah perjuangan, bukan karpet merah untuk mencari fasilitas.
Penutup: Dari Pengemis ke Pelopor
HMI lahir bukan untuk mencetak peminta-minta, tetapi pemimpin bangsa. Seperti kata Cak Nur, “Kader HMI harus menjadi manusia merdeka, yang berdiri di atas kaki sendiri, bukan menggantung di pundak orang lain” Sudah saatnya mahkota jabatan dibersihkan dari lumut mentalitas pengemis. Bukan untuk tunduk meminta, tapi untuk berdiri memberi arah. Jika kader HMI berani membalik keadaan ini, HMI kembali menjadi mercusuar pergerakan, bukan sekadar obor kecil yang padam ditiup angin patronase.
Hari ini, mahkota jabatan di HMI bagaikan istana berlumut luarnya tampak gagah, dalamnya keropos. Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian justru diperlakukan sebagai akses pribadi melobi dana dan fasilitas. Jika ini dibiarkan, HMI akan kehilangan marwahnya, dan kader hanya akan menjadi “pejabat mahasiswa” yang pandai menyodorkan proposal, bukan pelopor perubahan. Kita tidak bisa lagi berdalih bahwa “semua organisasi butuh dana.” Ya, benar, tetapi kemandirian adalah prinsip, bukan sekadar urusan teknis. Organisasi besar di seluruh dunia membangun koperasi, mengelola aset, menciptakan dana abadi, dan berani menegakkan program tanpa ketergantungan.
Bayangkan bila Kader HMI kembali menemukan jati dirinya:
1. Kader tak lagi menunduk di hadapan pejabat, tetapi berdialog setara.
2. Setiap agenda lahir dari gagasan, bukan sponsor.
3. Kritik HMI terhadap kekuasaan kembali lantang, karena tak terikat pada siapa pun.
4. Jas hijau bukan sekadar seragam seremonial, tetapi simbol kehormatan yang tidak ternoda oleh praktik meminta-minta.
Sejarah menunjukkan, organisasi mahasiswa bisa menjadi mercusuar peradaban bila idealismenya terjaga. HMI kini di persimpangan jalan: tetap menjadi obor kecil yang padam ditiup angin patronase, atau menjadi mercusuar yang kokoh diterpa badai.
Sudah saatnya:
1. Mahkota jabatan dibersihkan dari lumut ketergantungan.
2. Jas hijau tidak lagi dijadikan kedok untuk meminta, tetapi simbol kehormatan untuk memberi arah.
3. Kader HMI berhenti menjadi pengemis di meja kekuasaan dan kembali menjadi pelopor di jalan perjuangan.
4. Kader harus memiliki kemandirian karakter, punya prinsip dan mandiri secara ekonomi.
Jika kader HMI berani membalik keadaan ini, HMI kembali disegani bukan karena koneksi, tetapi karena keberanian. HMI akan menjadi sekolah kepemimpinan bangsa, bukan biro jasa pengadaan acara. Dan saat itu, bangsa ini akan melihat HMI seperti yang diimpikan pendirinya: Saya Tegaskan Rumah Kader Pejuang, Bukan Rumah Kader Peminta-Minta. Kritikan ini sebagai bentuk kecintaan saya terhadap himpunan yang sudah lama hilang marwah akibat mental kadernya yang pengecut, hal ini jika kita diamkan adalah bentuk mendukung secara massif ulah para kader tidak punya pendirian.
MENURUT KALIAN BAGAIMANA ? AYO BERFIKIR BERSAMA!
Editor : M Ali Makki
Komentar
Posting Komentar