Langsung ke konten utama

Organisasi Mahasiswa, Benteng Terakhir Demokrasi Indonesia

 

Bahtiar (Kabid PAO HMI Koorkom
Universitas Muhammadiyah Malang)

Malang, LAPMI - Demokrasi di Indonesia lahir dari perjalanan panjang bangsa ini. Sejak merdeka tahun 1945, kita sudah mencoba berbagai bentuk sistem politik. Pada tahun 1950-an, Indonesia sempat menjalankan demokrasi parlementer yang disebut demokrasi liberal kemudian bergeser ke Demokrasi Terpimpin di era Sukarno. Pada saat kepemimpinan Soeharto membawa kita masuk ke masa Orde Baru yang otoriter, di mana demokrasi hanya menjadi formalitas dan rakyat tidak punya ruang untuk bersuara. Barulah setelah Reformasi 1998, demokrasi yang lebih terbuka bisa dijalankan. Tapi sampai sekarang, demokrasi yang kita jalani masih penuh masalah. Korupsi masih banyak, politik uang makin merajalela, partai politik dikuasai elit yang itu-itu saja, dan rakyat mulai merasa jauh dari pemimpin yang dipilih.

Pada ruang situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang kemudian  siapa yang bisa mengawal dan menjaga supaya demokrasi tidak salah jalan? Kalau hanya diserahkan pada partai politik atau lembaga negara, kita sudah tahu hal yang akan terjadi, demokrasi bisa diseret oleh kepentingan segelintir orang. Di sinilah pentingnya peran organisasi, terutama organisasi Mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI bukanlah organisasi baru. Sejak awal kemerdekaan, HMI ikut menjaga Republik ini dari ancaman ideologi yang ingin menggoyahkan dasar negara. Dari HMI juga lahir banyak tokoh bangsa yang berpengaruh. Di masa Orde Baru, HMI masih bisa menjadi ruang belajar berpikir kritis di tengah represi negara. Pada 1998 mahasiswa termasuk HMI ikut berada di garis depan menuntut perubahan besar yang akhirnya menjatuhkan rezim otoriter. Dari sini kita bisa lihat organisasi seperti HMI punya rekam jejak panjang dalam mengawal arah politik bangsa.

Kenapa organisasi harus ikut mengontrol demokrasi? Ada beberapa alasan penting. Pertama, organisasi berfungsi sebagai pengawas. Mereka bisa mengingatkan dan mengkritik pemerintah atau elit politik kalau ada penyimpangan. Di negara yang masih penuh praktik korupsi, suara organisasi ini sangat dibutuhkan. Kedua, organisasi juga jadi sekolah demokrasi. Di mana anak-anak muda belajar tentang hak dan kewajiban warga negara, belajar kepemimpinan, dan belajar menyampaikan pendapat. Pengetahuan ini penting sekali karena banyak masyarakat yang masih belum paham betul arti partisipasi politik selain datang ke TPS. Ketiga, organisasi bisa menjadi penyeimbang. Partai politik sering kali lebih mementingkan kursi dan kekuasaan daripada kepentingan rakyat. Organisasi yang lahir dari gerakan mahasiswa punya tradisi intelektual dan moral yang bisa menjadi penyeimbang suara rakyat terhadap dominasi partai dan elit.

Kalau kita lihat dari teori, banyak pemikir menekankan pentingnya organisasi dalam demokrasi. Alexis de Tocqueville misalnya, menyatakan bahwa asosiasi warga adalah fondasi demokrasi karena di situlah orang belajar bekerja sama dan bertanggung jawab. Robert Putnam juga menjelaskan tentang modal sosial, yaitu jaringan kepercayaan dan hubungan dalam masyarakat yang bisa memperkuat lembaga demokrasi. Di Indonesia, teori ini terbukti benar. HMI dan organisasi mahasiswa lain bisa menghubungkan banyak orang ke dalam gerakan bersama dan hasilnya bisa memengaruhi kebijakan atau bahkan arah negara. Jadi tanpa organisasi demokrasi bisa saja dangkal dan hanya jadi formalitas.

Lalu apa yang bisa dilakukan organisasi untuk menjaga demokrasi? Banyak sekali. Mereka bisa kemudian membuat ruang pendidikan politik untuk mahasiswa atau masyarakat luas, supaya orang lebih paham pentingnya partisipasi dan tidak mudah ditawar oleh politik uang. Mereka bisa menyusun riset dan memberi masukan kebijakan kepada pemerintah. Mereka bisa menyiapkan calon pemimpin masa depan lewat pelatihan kepemimpinan yang menekankan etika, nasionalisme, dan kepedulian sosial. Mereka bisa membangun koalisi dengan organisasi masyarakat sipil lain, entah itu LSM, serikat buruh, atau komunitas agama, agar ada kekuatan bersama menghadapi dominasi oligarki. Dan mereka juga bisa turun ke jalan dengan damai, lewat demonstrasi, diskusi publik, atau kampanye sosial, untuk menekan pemerintah agar tetap taat pada prinsip demokrasi. Semua ini bentuk kontrol yang sehat bukan untuk menjatuhkan demokrasi tapi justru untuk memperkuat demokrasi.

Banyak kemudian yang menyatakan seharusnya demokrasi cukup dijalankan oleh lembaga negara dan wakil rakyat tidak perlu campur tangan organisasi. Tapi pengalaman Indonesia justru membuktikan, lembaga negara saja tidak cukup. Partai politik sering terseret kepentingan elit, lembaga legislatif kadang kehilangan fungsi pengawasan sementara pemerintah eksekutif sering lebih sibuk menjaga stabilitas daripada mendengarkan suara rakyat. Kalau tidak ada organisasi yang ikut mengawasi, demokrasi kita bisa mundur lagi ke arah otoriter atau oligarki. Kontrol organisasi bukan berarti merebut kekuasaan melainkan memberi tekanan moral dan sosial agar demokrasi tetap di jalur yang benar.

Pada dasarnya penulis bisa bilang bahwa organisasi seperti HMI punya peran yang tidak bisa ditinggalkan dalam demokrasi Indonesia. Mereka adalah warisan sejarah, cermin tanggung jawab warga negara, sekaligus penjaga nilai demokrasi. Lewat pendidikan, pengawasan, dan mobilisasi, organisasi bisa membuat demokrasi lebih hidup, lebih inklusif, dan lebih berpihak pada rakyat. Masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya ada di tangan pemerintah atau partai politik, tapi juga di tangan organisasi masyarakat sipil yang berani bersuara. Karena itu, memperkuat peran organisasi bukan sekadar pilihan, tapi keharusan, agar demokrasi kita tidak berhenti di prosedur pemilu, melainkan benar-benar menjadi alat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Penulis : Bahtiar
Editor   : Ai Novia H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Sebuah Wacana Menjelang Pilkada 2024

  Zul Fahmi Fikar (Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa, HMI Cabang Malang) Kesejahteraan sebuah negara dilihat dari seorang pemimpinnya, demikian pula Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) harus dijadikan sebagai proses demokrasi yang sehat, kita sebagai masyarakat awam harus mampu menghindari politik transaksional yang membudaya di bangsa ini, agar pemilihan kepala daerah mendatang lebih bersih dan jauh dari kata curang, kotor dan lain sebagainya.  Karena 5 tahun ke depan bukan persoalan menang ataupun kalah dari kontestasi politik hari ini, akan tetapi bagaimana kita sama-sama fokus pada perubahan di setiap daerah yang kita tempati,berangkat dari itulah mengapa pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia perlu jeli dalam menentukan pilihan, sebab dosa mendatang yang diperbuat oleh kepala daerah yang terpilih itu merupakan dosa besar kita bersama.  27 November 2024, pesta demokrasi akan diselenggarakan, yang mana kita sebagai masyarakat sama-sama berharap ...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...