Langsung ke konten utama

Makzulkan Prabowo-Gibran: Tagline dan Maknanya

 

Ismail Mony
(Ketua Umum HMI Koorkom UMM)

Malang, LAPMI - Dalam Negara demokrasi, pemimpin tertinggi Presiden dan Wakil Presiden bukan sekadar simbol kuasa, melainkan wakil paling akhir dari harapan rakyat. Ketika lembaga-lembaga negara lainnya gagal merespons, maka sorotan publik akan naik ke puncak tertinggi pemerintahan. Dan di sinilah letak makna dalam tagline aksi yang digaungkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang: “Makzulkan Prabowo-Gibran.”

Tagline ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah akumulasi dari tuntutan yang lama diabaikan. Seruan ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari ketidakpuasan mendalam terhadap DPR yang gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga representatif, dan terhadap Kapolri yang dinilai tidak bertanggung jawab dalam merespons pelanggaran hukum dan HAM. Ketika dua pilar penting demokrasi legislatif dan penegak hukum yang melemah secara moral dan fungsional, maka rakyat akan menuntut pertanggungjawaban dari pucuk kepemimpinan nasional.

Negara yang Pilah-pilih dalam Mendengar

Dalam kerangka Teori Respons Negara (Skocpol & Tilly), negara bukan entitas pasif. Ia memiliki logika politik sendiri yang membuatnya hanya merespons aspirasi jika tekanan itu mengancam kelangsungan kekuasaan. Maka, ketika demonstrasi, kritik publik, dan tuntutan hukum terhadap Kapolri diabaikan, itu bukan karena negara tidak tahu. Justru negara tahu, tapi memilih untuk diam.

Tagline “Makzulkan Prabowo-Gibra” hadir bukan untuk sekadar menggugah emosi massa, apalagi titipan isu dalam hal ini ditunggangi melainkan untuk menggeser tekanan langsung ke pusat kekuasaan. Ini adalah bentuk peringatan: jika Presiden dan Wakil Presiden tetap diam, maka merekalah yang patut dimintai pertanggungjawaban tertinggi.

Ketika DPR Gagal, Legitimasi Politik Runtuh

Publik hari ini semakin kehilangan kepercayaan terhadap DPR. Lembaga yang mestinya menjadi kanal aspirasi rakyat justru menjadi simbol ketimpangan representasi. Banyak anggota DPR digaji lebih dari Rp100 juta per bulan, lengkap dengan fasilitas mewah, namun gagal menyuarakan kepentingan publik, seperti percepatan RUU Perampasan Aset yang penting untuk memberantas korupsi, atau kritik terbuka terhadap tindakan represif aparat keamanan.

Dalam Teori Representasi Politik (Hanna Pitkin), representasi bukan hanya soal kehadiran, tapi soal tanggung jawab terhadap kehendak rakyat. Ketika DPR tak lagi menjalankan perannya, maka rakyat mencari jalan lain: aksi massa dan tekanan langsung ke eksekutif.

Tagline “Makzulkan Prabowo-Gibra” bukan sekadar ancaman, melainkan sinyal: rakyat tidak percaya lagi bahwa parlemen bisa menyelamatkan demokrasi.

Kapolri yang Tak Tersentuh, Presiden yang Bungkam

Tuntutan agar Kapolri dicopot telah berkali-kali disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat sipil, terutama karena tindakan represif aparat, dugaan pelanggaran HAM, dan ketidakhadiran etika profesional dalam kepolisian yang dimana hal ini dapat dilihat pada kasus besar tragedy Kanjuruhan dan wafatnya Affan Kurniawan yang dilindas mobil rantis Brimob. Namun Presiden sebagai pemegang kendali tertinggi atas Polri justru tidak bersuara sesuai tuntutan rakyat.

Ini berbahaya. Dalam kerangka Teori Legitimitas Kekuasaan (Max Weber), pemimpin sah bukan hanya karena terpilih secara legal, tapi juga karena memenuhi ekspektasi rakyat dan menjalankan kekuasaan secara etis. Ketika Presiden tidak menjalankan tanggung jawab moral terhadap rakyat yang dipimpinnya, maka legitimasi kekuasaan perlahan terkikis.

Tagline “Makzulkan Prabowo-Gibra” tidak bisa lagi dipandang sebagai hasutan. Ia adalah refleksi dari krisis legitimasi yang nyata.

Alienasi Politik & Jalanan sebagai Arena Baru

Seruan ini juga sejalan dengan Teori Alienasi Politik (Seymour Martin Lipset). Ketika saluran formal tidak lagi dipercaya, maka yang muncul adalah keterasingan politik rakyat terhadap negaranya. Keterasingan ini mendorong publik untuk mencari ruang baru untuk mengekspresikan suara dan jalanan menjadi forum demokrasi yang lebih nyata daripada parlemen itu sendiri.

Narasi “Makzulkan Prabowo-Gibran” adalah bentuk disrupsi terhadap politik representatif yang gagal. Ia mewakili frustrasi, kekecewaan, sekaligus harapan agar negara benar-benar kembali mendengar.

Bukan Soal Menjatuhkan, Tapi Meminta Bertanggung Jawab

Perlu ditegaskan, tagline ini tidak serta-merta menyuarakan kudeta atau makar. Ini adalah mekanisme kritik keras yang sah secara demokratis. Dalam logika gerakan sosial (New Social Movement Theory, Alberto Melucci), seruan seperti ini adalah cara masyarakat sipil menegaskan kembali ruangnya dalam demokrasi yang terlalu elitis. Rakyat hanya akan berkata “makzulkan” ketika suara mereka benar-benar diabaikan terlalu lama.

Demokrasi Tak Bisa Dibungkam

Tagline “Makzulkan Prabowo-Gibran” adalah cermin dari demokrasi yang nyaris kehilangan substansinya. Ia mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap sistem yang tidak lagi berpihak pada rakyat, terhadap pemimpin yang diam saat rakyatnya disakiti, dan terhadap lembaga legislatif dan Polri yang menjauh dari representasi sejatinya.

Ini bukan sekadar wacana penggulingan, melainkan seruan moral untuk menyelamatkan demokrasi dari kebungkaman kekuasaan. Jika suara rakyat terus-menerus diabaikan, maka mereka berhak menuntut pertanggungjawaban langsung dari mereka yang menduduki kursi tertinggi negeri ini.

Demokrasi tidak pernah tumbuh dari diamnya penguasa. Ia lahir dan bertahan dari suara rakyat yang tidak berhenti berteriak hingga didengar, maka yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal. Yakin Usaha Sampai Menang.


Penulis : Ismail Mony
Editor   : M Ali Makki

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Sebuah Wacana Menjelang Pilkada 2024

  Zul Fahmi Fikar (Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa, HMI Cabang Malang) Kesejahteraan sebuah negara dilihat dari seorang pemimpinnya, demikian pula Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) harus dijadikan sebagai proses demokrasi yang sehat, kita sebagai masyarakat awam harus mampu menghindari politik transaksional yang membudaya di bangsa ini, agar pemilihan kepala daerah mendatang lebih bersih dan jauh dari kata curang, kotor dan lain sebagainya.  Karena 5 tahun ke depan bukan persoalan menang ataupun kalah dari kontestasi politik hari ini, akan tetapi bagaimana kita sama-sama fokus pada perubahan di setiap daerah yang kita tempati,berangkat dari itulah mengapa pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia perlu jeli dalam menentukan pilihan, sebab dosa mendatang yang diperbuat oleh kepala daerah yang terpilih itu merupakan dosa besar kita bersama.  27 November 2024, pesta demokrasi akan diselenggarakan, yang mana kita sebagai masyarakat sama-sama berharap ...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...