![]() |
Ismail Mony (Kader HMI Cabang Malang) |
Malang, LAPMI- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan sekadar organisasi kemahasiswaan. Ia adalah sebuah ikhtiar sejarah yang lahir dari kesadaran mendalam tentang tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, bangsa, dan peradaban. Visi HMI “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT” bukanlah sekadar slogan. Ia adalah panggilan jiwa, seruan esensial bagi mereka yang ingin hidup bermakna.
Namun, perjalanan sejarah selalu menyimpan paradoks. Di satu sisi, HMI menanam idealisme langit. Tapi di sisi lain, realitas perkaderan hari ini justru memperlihatkan jurang antara nilai dan laku. Apa yang hilang? Barangkali, yang hilang adalah kesadaran akan makna menjadi kader. Padahal salah satu syarat dalam menjalankan perkaderan adalah “sadar”, sadar berarti keadaan pikiran yang penuh kewaspadaan dan mampu memahami perannya sebagai kader, konstitusi dan perintah Allah SWT. Sehingga kesadaran inilah yang menjadi landasan bagi kader muslim yang kaffah dalam menjalankan roda organisasi.
Strukturalisme Dini: Jabatan Jadi Cermin Ego, Bukan Titipan Amanah
Dalam dunia yang kian bising oleh ambisi, banyak kader terjebak pada hasrat menonjol sebelum matang. Jabatan dikejar sebagai validasi eksistensi, bukan sebagai amanah ilahiah. Padahal, jabatan dalam HMI mestinya bukan tempat membesarkan nama, tapi ruang menciutkan ego, tempat di mana seseorang diuji untuk mampu menundukkan dirinya demi yang lebih luas dari dirinya.
Seorang kader yang belum tuntas memahami makna pengabdian, tapi sudah sibuk memburu jabatan, ibarat musafir yang tersesat tapi memaksa menjadi penunjuk jalan. Yang lahir kemudian adalah pemimpin-pemimpin tanpa narasi, memimpin tanpa arah, dan mengelola organisasi tanpa ruh.
Gerak Berdasarkan Kepentingan, Bukan Kesadaran
Ketika kepentingan menjadi kompas, maka gerak kader kehilangan arah. Forum hanya dihadiri ketika ada imbalan, kegiatan diikuti jika ada peluang. Dalam situasi seperti ini, kader HMI bukan lagi subjek perubahan, tapi objek transaksionalisme.
Apa yang hilang? Kesadaran batin. Padahal gerakan sejati selalu lahir dari kesadaran, bukan dari dorongan sesaat. Kesadaran adalah cahaya yang membimbing gerak, bahkan dalam gelap. Tanpa itu, kader hanyalah tubuh-tubuh bergerak tanpa jiwa seperti robot yang berjalan karena sistem, bukan karena kesadaran.
Program Kerja Tanpa Ruh: Eksistensi Mengalahkan Esensi
Program kerja hari ini seringkali menjadi panggung pencitraan. Ia tidak lagi dilahirkan dari kegelisahan, tapi dari keinginan tampil. Aktivitas dijalankan bukan karena ia menyelesaikan masalah umat, tapi karena ia menambah nilai di CV. Substansi dikorbankan demi bentuk.
Lebih menyedihkan, ada kader yang menjadikan nama organisasi sebagai alat dagang moral, merusak kemuliaan himpunan demi keuntungan sesaat. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif ini pengkhianatan terhadap amanah sejarah.
Lafran Pane dan Spirit Anonimitas
Lafran Pane mendirikan HMI bukan untuk kekuasaan, tapi untuk peradaban. Bahkan, ia memilih tidak menjadi ketua umum agar himpunan berjalan lebih baik. Ia memahami bahwa keikhlasan jauh lebih kuat daripada jabatan.
Lafran bukan satu-satunya. Lihatlah Muhammad Al-Fatih yang bermimpi tentang Konstantinopel sejak kecil. Lihatlah Shalahuddin yang mengabdikan hidup untuk pembebasan Al-Quds. Mereka semua hidup dalam cakrawala cita yang jauh melebihi dirinya sendiri.
Apa kesamaan mereka? Mereka selesai dengan urusan pribadinya. Mereka tidak bertanya, “apa untungnya untukku?”, tapi bertanya, “apa warisan yang kutinggalkan untuk umat ini?” Sebab, sebagaimana yang disampaikan Ustadz Budi Ashari dalam penggalan ceramahnya “kalo ada orang yang mati sibuk memikirkan diri sendiri, maka matinya mati kerdil. Mati besar adalah orang yang meninggal dalam keadaan memikirkan umat.”
Tujuan HMI: Masihkah Ada yang Mengerjakannya?
Bila ruh perkaderan terus terbenam dalam lumpur ambisi dan keletihan spiritual, pertanyaannya bukan lagi "kapan tujuan HMI tercapai", tapi "apakah masih ada yang bekerja untuk mencapainya?"
HMI akan menjadi ladang peradaban hanya jika kader-kadernya menjadi petani nilai yang menanam cita dalam sunyi, menyiram iman dalam sepi, dan menuai amal dalam diam. Kader-kader yang: Sanggup mengalah demi yang lebih layak, tidak menggantungkan harga dirinya pada struktur, berani miskin secara materi demi kaya secara makna, melayani tanpa pamrih, memimpin tanpa ambisi
Kembali ke Jalan Pulang
Krisis dalam HMI hari ini bukan krisis struktural. Ia adalah krisis ontologis tentang siapa sejatinya kita sebagai kader. HMI tidak sedang butuh lebih banyak pelatihan atau proposal, tapi lebih banyak perenungan dan penjernihan. Sebab, organisasi ini lahir bukan dari keramaian, tapi dari kesunyian yang melahirkan kesadaran besar.
HMI adalah tempat menempa diri bukan untuk dikenal, tapi untuk bermakna. Bukan untuk mengejar dunia, tapi untuk menegakkan nilai-nilai yang melampaui dunia. yuk, bisa yukk!!!
Editor : Muhammad Ali Makki
Komentar
Posting Komentar