![]() |
Ahmad Qiram As-suvi (Direktur Eksekutif LKBHMI HMI Cabang Malang) |
Malang, LAPMI - Tragedi seorang pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan taktis Barracuda Brimob saat demonstrasi menjadi sorotan publik di berbagai platform media sosial. Massa yang berbondong-bondong mendatangi Gedung DPR dan menyuarakan mosi pembubaran bukanlah sekadar amarah spontan, melainkan akumulasi dari kekecewaan panjang. Sebelum tragedi itu, publik sudah disulut oleh sejumlah kebijakan yang dianggap tak berpihak.
1. Amarah Publik dan Tunjangan Fantastis DPR
Naiknya tunjangan rumah bagi anggota DPR yang mencapai 10 kali lipat UMR Jakarta telah memancing perbincangan di Masyarakat. Meskipun gaji pokok anggota DPR terhitung kecil dengan rentang 4 juta hingga 5 juta rupiah, namun realokasi dana rumah dinas menjadi tunjangan rumah mendorong penerimaan hingga sekitar 50 juta. Jika ditambah dengan tunjangan lainya, dalam satu bulan para nggota DPR mendapatkan gaji sebesar 100 juta. Beberapa tahun yang lalu, Krisdayanti dalam sebuah wawancara podcash Bersama Akbar Faishal sempat membongkar rincian gaji DPR yang jumlahnya sangat fantastis.
Kontrasnya makin terlihat ketika kebijakan efisiensi anggaran yang sedang digalakan oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Seperti halnya saja pada ranah Pendidikan, Empan Supandi, merupakan guru honor yang digaji sebesar 200 ribu perbulan, angka yang tak cukup untuk biaya transportasi sebulan dengan jarak tempuh 12 km. Pada waktu yang bersamaan di sektor ekonomi, naiknya PPN 12% per 1 Januari 2025 telah berdampak pada postur APBN, karena daya beli masyarakat menengah kebawah menurun, dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan di sektor industri terkait, sehingga menurunya pendanaan dan kualitas untuk program-program strategis seperti kesehatan, pendidikan serta infrastruktur. Padahal APBN menjadi instrument penting bagi penerimaan negara dengan alokasi sebesar 64,6% dari sumber penerimaan negara. Inilah yang menimbulkan kegelisahan publik makin runyam.
Disparitas sosial-ekonomi yang mencolok diatas menandai kita telah memasuki musim panceklik sesungguhnya. Kontras ini semakin nyata ketika kita bandingkan dengan persoalan sehari-hari rakyat. Bulan Maret yang lalu, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya berkelakar tentang naiknya harga cabe, “Saran saya jangan terlalu banyak makan pedas” ujarnya. Pernyataan yang sangat solutif bagi Masyarakat yang mengeluhkan harga cabe yang mahal, namun harga tersebut bagi para anggota DPR dengan gaji yang spektakuler bukanlah sebuah problem. Ini bukan berbicara soal cabe semata, akan tetapi tentang kesenjangan ekonomi yang sedang menjadi realitas eksis ditengah masyrakat Indonesia, yaitu hikayat cabe dan pedasnya penderitaan masyarakat kelas bawah yang selalu dipajaki dalam aktivitas ekonomi, namun negara gagal untuk hak dasar mereka.
Logika mana yang akan menerima bahwasanya orang yang mewakili lebih kuat dibandingkan orang yang diwakili. Anggota DPR sebagai wakil rakyat mendapatkan jabatanya karena kepercayaan rakyat, artinya kedaulatan tertinggi berada pada rakyat. Akan tetapi logika akal sehat itu runtuh seketika melihat rakyat sebagai mandator, yaitu pemberi mandat kekuasaan, lebih melarat daripada anggota DPR sebagai mandataris yang seharusnya tunduk pada mandat itu..
Padahal jikalau konsisten dengan alur logika bahwa yang memberikan kekuasaan adalah rakyat, maka keadilan sosial dan rasa empati merupakan hal yang mutlak adanya bagi orang yang telah diberikan sesuatu atas permintaanya, layaknya manusia yang beradab dan bermoral. Namun ketika kepercayaan itu hilang karena telah menghianati kepercayaan rakyat sebagai pemberi kekuasaan, pada titik itu juga para anggota DPR kehilangan legitimasinya di mata rakyat. John Locke dalam Two Treatises of Government pernah mengingatkan, ketika mandat publik dikhianati, rakyat berhak menarik kembali kekuasaannya.
Mari sejenak berasumsi ,andai saja para anggota DPR tau terimakasih, memiliki rasa empati yang normal, sudah seharusnya balas budi kepada rakyat yang memilihnya. Mungkin terkesan tidak ikhlas karena budi suara yang telah kita berikan pada waktu kampanye, namun dalam dunia politik saat ini, di Indonesia, “Ikhlas berbudi suara” seringkali dibalas dengan penghianatan. Justru di sinilah letak ironi yang mencolok: ketika rakyat terhimpit, DPR seolah berhak hidup mewah tanpa rasa malu. Misalnya saja, jika efisiensi jadi jargon, DPR mestinya rela memangkas tunjangan, dengan alternatif mengalihkan anggaran ke sektor vital (pendidikan, kesehatan, subsidi rakyat). Namun yang terjadi justru sebaliknya: di tengah krisis dan jeritan rakyat, mereka malah menikmati fasilitas yang berlipat-lipat. Tunjangan berlipat-lipat di tengah krisis bukan lagi sekadar pemborosan, tetapi penghinaan terhadap akal sehat publik.
2. Aparat vs Massa Demonstran?
Banyak insiden aksi massa berakhir dengan bentrokan antara aparat dan demonstran. Narasi saling tuduh, aparat yang represif atau massa aksi yang anarkis, selalu mewarnai pemberitaan, terutama ketika korban jiwa berjatuhan. Tragedi Pejompongan menjadi simbol nyata pembajakan terhadap moral kolektif yang ternodai, ketika seorang driver ojek online (ojol) meregang nyawa setelah dilindas mobil rantis Brimob dalam unjuk rasa di Jakarta, Kamis, 28 Agustus 2025, yang dipicu oleh mosi pembubaran DPR karena kebijakan yang tidak berpihak pada kemaslahatan bersama.
Pada satu sisi, represivitas aparat tidak bisa dibenarkan. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 25 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sedangkan Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Artinya, tindakan brutal aparat terhadap massa aksi jelas merupakan bentuk pelanggaran HAM. Lebih jauh, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga mewajibkan aparatur pemerintah untuk: (a) melindungi hak asasi manusia; (b) menghargai asas legalitas; (c) menghargai prinsip praduga tak bersalah; dan (d) menyelenggarakan pengamanan.
Namun di sisi lain, tindakan anarkis yang dilakukan para demonstran—seperti perusakan fasilitas umum atau penyerangan terhadap petugas—juga melanggar Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang menegaskan bahwa warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a) menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; (b) menghormati aturan moral yang diakui umum; (c) menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (d) menjaga dan menghormati keamanan serta ketertiban umum; dan (e) menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Situasi tarik-menarik inilah yang sering membuat aparat terhimpit dan kewalahan, Jika terlalu lunak, aparat akan dimarahi atasan; jika terlalu tegas, mereka harus berhadapan dengan massa dan tidak jarang keselamatan nyawa pun dipertaruhkan. Dua kutub inilah yang terus bersitegang setiap kali unjuk rasa berubah menjadi tidak kondusif.
Akan tetapi, ketika dicermati dengan menurunkan ketegangan, apparat dan massa aksi hanya martir atas huru-hara yang disebabkan oleh Tindakan dan kebijakan pemerintah yang tidak partisipatif. Aktor utama yang patut disalahkan adalah pejabat pemerintah korup yang rakus dan mempermainkan ekonomi serta politik demi kepentingan pribadi dan golongan tertentu saja.
Selama aparat dan rakyat sibuk berhadap-hadapan di jalanan, DPR justru dengan nyaman bersembunyi di balik kursi empuknya. Alih-alih tampil sebagai penengah yang bijak atau mewakili aspirasi rakyat, mereka memilih diam seribu bahasa, seakan tidak berhubungan dengan gejolak sosial yang terjadi. Keheningan itu bukan sekadar tanda ketidakpedulian, melainkan strategi untuk menjaga kepentingan politik dan ekonomi mereka tetap aman. Sementara darah rakyat tumpah dan aparat kelelahan di lapangan, para wakil rakyat menutup mata dari tanggung jawab yang seharusnya mereka emban.
Editor : Muhammad Ali Makki
Komentar
Posting Komentar