Langsung ke konten utama

Perempuan dan Perubahan Sosial di Madura, Antara Tradisi dan Emansipasi

 

Robiatil Hurriyah
(Mahasiswi STIT Al-Ibrohimy)


Malang, LAPMI - Madura, sebuah pulau yang terkenal dengan sebutan pulau garam, merupakan salah satu wilayah yang kaya akan budaya dan tradisi, serta memiliki keunikan tersendiri dalam masalah sosial masyarakatnya. Salah satu hal yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana posisi dan peran perempuan di tengah dinamika budaya Madura yang kuat, terutama dalam menghadapi perubahan sosial yang semakin cepat.

Perempuan Madura tidak hanya menjadi penjaga nilai-nilai tradisional, tetapi juga pelaku penting dalam proses emansipasi dan transformasi sosial. Secara historis, kehidupan perempuan Madura dalam masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai patriarki. Hal ini terlihat dari kuatnya peran laki-laki dalam pengambilan keputusan, baik di ranah domestik maupun publik.

Perempuan umumnya diposisikan sebagai pengatur rumah tangga, pendidik anak, dan penjaga moral keluarga. Budaya "malu" (dalam bahasa Madura disebut isè') sangat dijunjung tinggi oleh perempuan, dan norma sosial menuntut mereka untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarga.

Meski demikian, perempuan Madura dikenal mempunyai watak yang kuat dan tegas. Banyak perempuan yang terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti berdagang di pasar, menjual hasil tani atau laut, serta membantu suami dalam usaha keluarga.

Hal ini menunjukkan, walaupun ruang gerak perempuan Madura dibatasi oleh budaya, mereka tetap mampu memainkan peran penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, ketika laki-laki pergi merantau merekalah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Namun seiring berjalannya waktu, masuknya pendidikan, media, dan pengaruh Globalisasi merubah peran perempuan di Madura. Perempuan mulai menempuh pendidikan lebih tinggi, aktif dalam organisasi sosial, dan berpartisipasi dalam dunia kerja di luar rumah. Mereka mulai memiliki kesadaran akan hak-haknya sebagai individu, baik dalam aspek hukum, pendidikan, maupun sosial.

Keadaan inilah yang kemudian memicu munculnya ketegangan antara nilai-nilai tradisional yang mengikat dan semangat emansipasi yang mendorong perubahan.

Dalam pandangan filsafat, manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungannya. Emansipasi perempuan bukan sekadar tentang kesetaraan formal, tetapi tentang pengakuan akan keberadaan perempuan sebagai subjek yang otonom dan rasional.

Dalam konteks perempuan Madura, hal ini berarti memberi ruang bagi perempuan untuk berpikir dan bertindak atas dasar pilihan mereka sendiri, tanpa harus meninggalkan identitas budaya yang telah membentuk jati diri mereka.

Salah satu tantangan utama dalam upaya memperjuangkan emansipasi perempuan di Madura adalah masih kuatnya tekanan sosial dan ekspektasi budaya. Perempuan yang berani bersuara (speak up) atau aktif di ruang publik dianggap melanggar norma. Mereka bisa dicap tidak sopan, tidak tahu diri, atau bahkan “keluar dari kodratnya.” Hal ini menciptakan dilema besar bagi perempuan yang ingin berkembang, tetapi takut dicemooh masyarakat.

Namun, tidak sedikit contoh positif dari adanya perubahan sosial. Kini mulai banyak tokoh perempuan Madura yang menjadi guru, dosen, kepala sekolah, bahkan pejabat publik. Organisasi perempuan, baik berbasis agama maupun sosial, semakin aktif menyuarakan isu-isu kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, dan perlindungan perempuan dari kekerasan. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti penyuluhan hukum, pelatihan keterampilan, dan advokasi hak-hak perempuan.

Dalam perspektif filsafat emansipasi, perubahan ini merupakan bagian dari proses pembebasan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penindasan struktural. Emansipasi bukan berarti menolak budaya, tetapi menafsirkan ulang budaya secara lebih adil dan manusiawi.

Adanya tradisi tidak sewajarnya menjadi alat pembenaran untuk membatasi hak-hak perempuan, tetapi justru harus menjadi fondasi nilai yang mendorong keadilan dan kemanusiaan. Perlu disadari bahwa, perempuan Madura tidaklah homogen. Kondisi sosial dan budaya mereka berbeda-beda, tergantung latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan.

Oleh karena itu, pendekatan terhadap emansipasi perempuan Madura tidak bisa diseragamkan. Dibutuhkan pendekatan yang sensitif terhadap konteks lokal, dialog antar generasi, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk laki-laki.

Langkah nyata yang bisa diambil untuk mendukung emansipasi perempuan di Madura, yakni dengan memperluas akses pendidikan yang setara, mendukung perempuan dalam dunia kerja dan usaha, memperkuat lembaga perlindungan perempuan, serta membangun ruang diskusi publik yang mendorong pemikiran kritis terhadap budaya. Keluarga dan lembaga pendidikan harus menjadi tempat awal yang menanamkan nilai kesetaraan dan penghargaan terhadap potensi perempuan.

Akhirnya, perempuan Madura adalah bagian dari perubahan itu sendiri. Mereka bukan hanya objek yang dibentuk oleh tradisi, tetapi juga subjek yang membentuk ulang tradisi agar lebih adil. Dalam filosofi Madura yang dikenal keras namun setia pada nilai-nilai, perempuan hadir sebagai kekuatan yang lembut namun kuat. Mereka bergerak di antara dua dunia, dunia lama yang memeluk tradisi, dan dunia baru yang membawa harapan emansipasi.

Dengan menyadari potensi besar perempuan dalam membentuk masa depan masyarakat, sudah saatnya kita tidak lagi melihat emansipasi sebagai ancaman bagi budaya. Sebaliknya, kita harus melihatnya sebagai jalan menuju masyarakat yang lebih adil, beradab, dan manusiawi. Karena perempuan Madura, dengan segala tantangannya, terus melangkah. Bukan untuk meninggalkan budayanya, tetapi untuk menghidupkannya dengan cara yang lebih bermartabat.


Penulis : Robiatil Hurriyah
Editor   : Ai Novia H


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Wacana Menjelang Pilkada 2024

  Zul Fahmi Fikar (Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa, HMI Cabang Malang) Kesejahteraan sebuah negara dilihat dari seorang pemimpinnya, demikian pula Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) harus dijadikan sebagai proses demokrasi yang sehat, kita sebagai masyarakat awam harus mampu menghindari politik transaksional yang membudaya di bangsa ini, agar pemilihan kepala daerah mendatang lebih bersih dan jauh dari kata curang, kotor dan lain sebagainya.  Karena 5 tahun ke depan bukan persoalan menang ataupun kalah dari kontestasi politik hari ini, akan tetapi bagaimana kita sama-sama fokus pada perubahan di setiap daerah yang kita tempati,berangkat dari itulah mengapa pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia perlu jeli dalam menentukan pilihan, sebab dosa mendatang yang diperbuat oleh kepala daerah yang terpilih itu merupakan dosa besar kita bersama.  27 November 2024, pesta demokrasi akan diselenggarakan, yang mana kita sebagai masyarakat sama-sama berharap ...

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...