![]() |
FERDI (Kader HMI ISIP UMM) |
Malang, LAPMI - Permasalahan konflik agraria menjadi isu yang sangat krusial yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu persoalan terkait pertanahan menjadi perhatian oleh berbagai pihak saat ini. Persoalan kepemilikan tanah antara perseorangan dan badan hukum menjadi konflik yang tidak terhindarkan. Anggita (2024) mengatakan, konflik ini tidak terlepas oleh kebutuhan manusia untuk membangun perumahan guna keberlangsungan kehidupannya. Yamani (2022) menegaskan bahwa, akibat konflik ini yang paling terdampak adalah masyarakat, sebab masyarakat tidak memiliki payung hukum dibandingkan dengan badan yang memiliki payung hukum.
Salah satu kasus yang hangat dan menjadi perhatian adalah penyerobotan tanah milik warga yang berada di Ibu Kota Negara (IKN) oleh Badan Bank Tanah (BBT), berdasarkan dari hasil dokumentasi Tempo mengatakan bahwa ada lima kelurahan yang diambil tanahnya oleh BBT, kelurahan tersebut di antaranya adalah kelurahan Riko, Maridan, Jenebora, Gersik, Pantai Lango. Menurut ketua suku adat Dayak, Yusni, Pengambilan tanah yang dilakukan oleh BBT tersebut tanpa adanya dialog dan ganti rugi terhadap masyarakat adat yang memiliki tanah. Tentu ini merupakan sebuah perampasan dan penindasan yang dilakukan oleh badan hukum terhadap masyarakat kecil.
Perihal konflik agraria ini, berdasarkan data pembaharuan Konsorsium 2023 Agraria mencatat, konflik tanah di Indonesia sebanyak 241 kasus, yang melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, dari data tersebut yang terluas berada di IKN, yakni seluas 243,8 ribu hektare, atas nama pembangunan negara, pemerintah mengambil dan merampas hak milih rakyat, tanpa sebuah dialog dan ganti rugi terhadap masyarakat adat. Kejadian ini telah memperlihatkan bagaimana kebengisan dan tanpa rasa kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Melihat kondisi ini, pemerintah tidak menerapkan nilai-nilai demokrasi, melainkan pemerintah telah memulai tirani atas nama sebuah pembangunan.
Konflik agraria yang terjadi di IKN ini merupakan konflik horizontal yaitu antara masyarakat dengan penguasa. Bila kita berkaca pada teori Ralf Dahrendorf, pertentangan kelas ini susah untuk dimenangkan oleh kaum ploretarian, karena penguasa memiliki payung hukum dan senjata untuk membungkam rakyat. Hal ini yang dialami oleh mayarakat adat yang wilayahnya berada di dekat IKN. Kasus ini menjadi satu dari bagian kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia.
Konflik agraria yang terjadi di IKN tidak hanya menimbulkan kerugian akibat pengambilan tanah oleh pemerintah, melainkan konflik ini dapat merugikan masyarakat yang menggantungkan ekonominya pada sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu, konflik ini dapat menimbulkan pertentangan kelas nantinya, apabila pendatang lebih memiliki modal yang lebih besar dibandingkan dengan penduduk masyarakat suku Dayak. Sebagaimana kejadian tahun 2002, pertentangan di Kalimantan antara suku Dayak dan Madura merupakan sejarah pertentangan konflik antar kelas sosial terbesar di Indonesia. Hal ini sepertinya yang tidak terpikirkan oleh pemerintah kedepannya, dampak atau akibat yang akan ditimbulkan oleh pengambilan tanah milik rakyat tersebut.
Adapun penyerobotan tanah yang dilakukan oleh pemerintah ini juga telah melanggar Hak Asasi Manusia terhadap masyarakat adat Dayak, dimana pemerintah telah mengambil hak masyarakat adat untuk aman dan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik. Padahal pemerintah seharusnya menjadi tempat pengayom dan pelindung masyarakat namun, justru tindakan yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk pengingkaran tugas pemerintah sekaligus bentuk kebiadaban terhadap rakyatnya sendiri demi kepentingan investasi dan korporat terkait. Dalam hal ini penulis memberikan solusi atas konflik agraria di IKN dan pelanggaran Hak terhadap masyarakat adat Dayak tersebut.
Pertama, Pemerintah harus secara tegas menegakkan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan leluhur mereka, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria dan diperjelas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa, hutan adat bukan lagi bagian dari hutan Negara, melainkan menjadi hak masyarakat adat. Penegakan hukum ini sangat penting untuk memberikan dasar legalitas yang kuat bagi masyarakat adat dalam mempertahankan wilayahnya dari klaim sepihak yang sering dilakukan oleh Negara maupun pihak swasta atas nama pembangunan atau investasi. Tanpa perlindungan yang tegas, masyarakat adat akan terus menjadi korban marginalisasi dan perampasan ruang hidup, yang berujung pada hilangnya identitas budaya serta rusaknya tatanan Ekologis yang selama ini mereka jaga.
Kedua, Pemerintah perlu melakukan reformasi agraria sejati yang berpihak pada rakyat, bukan hanya sebatas pada redistribusi tanah, tetapi juga mencakup pembenahan menyeluruh terhadap sistem administrasi pertanahan yang selama ini kerap menimbulkan tumpang tindih klaim dan konflik kepemilikan. Reformasi ini harus memastikan adanya kepastian hukum atas tanah, khususnya bagi masyarakat adat dan kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses terhadap perlindungan hukum yang memadai. Transparansi dalam proses alih fungsi lahan juga menjadi keharusan mutlak, agar setiap pengambilan keputusan terkait perubahan peruntukan tanah dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan melalui proses tertutup yang mengabaikan hak masyarakat. Selain itu, pengawasan terhadap lembaga seperti Badan Bank Tanah (BBT) harus diperkuat, agar institusi ini tidak menjadi alat legalisasi perampasan tanah atas nama pembangunan, melainkan berfungsi sesuai mandatnya untuk mewujudkan keadilan agraria. Reformasi agraria sejati harus dilandasi oleh prinsip keadilan sosial, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan, agar konflik agraria yang terus terjadi tidak menjadi warisan luka struktural yang terus membekas dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Ketiga, Pemerintah perlu melakukan dialog terbuka dengan masyarakat adat sebagai bentuk penghormatan terhadap hak-hak mereka, sekaligus memastikan adanya kompensasi yang adil dan layak atas tanah yang diambil. Dialog ini harus dilakukan secara partisipatif, tanpa paksaan, dan melibatkan tokoh adat serta warga terdampak, agar keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan dan kesepakatan bersama, bukan sekadar legitimasi atas kebijakan yang merugikan masyarakat. Kompensasi yang diberikan juga harus mempertimbangkan nilai budaya, historis, dan keberlanjutan ekonomi masyarakat adat, bukan hanya dihitung secara materiil semata. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa proses ganti rugi tidak hanya bersifat satu kali, melainkan mencakup jaminan keberlanjutan hidup, akses terhadap lahan pengganti, dan pendampingan ekonomi yang berkelanjutan agar masyarakat adat tidak semakin termarjinalkan dalam proses pembangunan.
Editor : Ai Novia H
Komentar
Posting Komentar