Darurat Lingkungan: Sekretaris Kohati HMI Cabang Bulukumba serukan Reforestasi sebagai solusi yang Berkelanjutan
![]() |
Nadia Arsyad (Sekretaris Kohati Hmi Cabang Bulukumba) |
Malang, LAPMI- Tahun 2025 ini, Indonesia dihadapkan pada berbagai agenda besar yang tak hanya menyangkut pembangunan fisik dan ekonomi, tapi juga kelangsungan hidup lingkungan. Di tengah semangat membangun dan mempercepat pertumbuhan. kita diingatkan bahwa pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam hanya akan mempercepat kehancuran. Isu-isu seperti kesenjangan ekonomi, kualitas pendidikan, pemerataan infrastruktur, dan transformasi digital memang penting. Namun, krisis lingkungan kini menjadi ancaman nyata yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Ujar Nadia Arsyad
Sekretaris Kohati Hmi Cabang Bulukumba ini menyampaikan bahwa Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menyaksikan bagaimana alam memberi peringatan. Banjir bandang, kekeringan ekstrem, suhu yang makin panas, dan kualitas udara yang memburuk hanyalah sebagian dari tanda-tanda bahwa ada yang salah dalam cara kita memperlakukan bumi. Ironisnya, semua itu terjadi di saat industri ekstraktif seperti tambang nikel justru berkembang pesat, terutama di wilayah timur Indonesia seperti sulawesi, Maluku, dan Raja Ampat. Daerah-daerah ini, yang dulu dikenal kaya keanekaragaman hayati dan sumber daya alam, kini menghadapi tekanan luar biasa akibat aktivitas pertambangan yang belum sepenuhnya memperhatikan daya dukung lingkungan.
Menurut Nadia Arsyad Masalah lingkungan bukan hanya tentang hutan yang gundul atau laut yang tercemar. Ini menyangkut nasib masyarakat lokal yang kehilangan ruang hidup, mata pencaharian, dan akses terhadap air bersih. Aktivitas tambang nikel, misalnya, sering meninggalkan jejak panjang berupa kerusakan tanah, air yang tercemar logam berat, dan hilangnya habitat alami. Bahkan beberapa daerah pesisir mengalami abrasi karena reklamasi dan eksploitasi yang tidak terkendali.
Suhu bumi juga terus meningkat. Laporan para ilmuwan dunia menyebutkan bahwa sejak Revolusi Industri, suhu global terus naik karena aktivitas manusia. Polusi dari industri, kendaraan, dan pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan gas-gas yang menahan panas di atmosfer. Dampaknya bisa kita rasakan langsung: cuaca makin tidak menentu, hujan ekstrem datang tiba-tiba, sementara musim kemarau terasa lebih panjang dan menyiksa.
Pencemaran lain pun tak kalah serius. Limbah industri yang dibuang sembarangan ke sungai dan laut telah mencemari sumber air masyarakat. Udara di kota-kota besar semakin sesak oleh asap kendaraan dan pabrik, menyebabkan gangguan kesehatan terutama bagi anak-anak dan lansia.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi sekarang ?
Membenahi lingkungan bukan tugas pemerintah saja. Ini soal tanggung jawab bersama. Kita perlu beralih ke cara hidup yang lebih ramah alam. Energi bersih seperti matahari dan angin perlu dimanfaatkan lebih luas. Limbah harus dikelola dengan bijak, bukan sekadar dibuang. Barang bekas bisa didaur ulang, bukan langsung dibakar atau ditimbun. Pendeknya, kita butuh pendekatan baru dalam berpikir dan bertindak—yang tidak hanya mengejar untung ekonomi, tapi juga memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap alam dan generasi selanjutnya. Ujar Nadia
Pendidikan lingkungan juga sangat penting. Masyarakat harus diajak paham bahwa menjaga alam bukan cuma urusan aktivis atau akademisi. Gerakan kecil seperti menanam pohon, mengurangi sampah plastik, atau memilih produk ramah lingkungan bisa membawa perubahan jika dilakukan secara kolektif. Pemerintah pun harus tegas menindak pelaku perusakan lingkungan dan menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada keberlanjutan, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi sesaat.
Diperlukan sebuah kesadaran bahwa bumi bukan milik kita semata. Kita hanyalah bagian kecil dari ekosistem yang lebih besar. Ketika sifat rakus dan mengeksploitasi tanpa batas, alam akan menagih kembali. Jika kita tidak segera berbenah, masa depan yang kita wariskan bukanlah kemakmuran, tapi krisis yang lebih dalam.
Kita juga tidak sedang melawan kemajuan. Tapi kita menolak kemajuan yang mencederai kehidupan. Kita butuh masa depan yang adil bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi tanah, air, udara, dan seluruh makhluk hidup. Tutupnya.
Editor : Fahrurrozy
Komentar
Posting Komentar