Langsung ke konten utama

Peran Pendidikan Arsitektur dalam Masyarakat untuk Menjawab Permasalahan Sosial

Bara Andana Subagyo (KABID PPPA
HMI Komisariat Jabal Thareeq)

 

Malang, LAPMI - Fenomena kesenjangan antar kelompok praktisi, akademisi, dan individu yang berperan dalam proses pembangunan, khususnya di bidang arsitektur, semakin mengkhawatirkan. Ditambah dengan adanya perbedaan ide dan gagasan mengenai disiplin ilmu arsitektur turut memperkeruh masalah ini. Hal ini bisa dilihat dari terbatasnya forum diskusi, dialog, dan publikasi media informasi yang mengangkat permasalahan arsitektur aktual dalam realitas sosial, baik dari perspektif ilmiah maupun populer.

Minimnya diskursus akademik, terutama di perguruan tinggi, menghambat perkembangan ide dan inovasi dalam arsitektur. Akibatnya, disiplin ini cenderung stagnan dan terjebak dalam nilai praktis serta orientasi kapital. Padahal, arsitektur seharusnya berkembang dalam ranah seni, sains, dan teknologi (imaginative engineering). Oleh karena itu, perlu upaya untuk mengembalikan peran mahasiswa sebagai agent of change dalam menjawab problematika sosial.

Tanpa disadari, sebagai pengguna kita memiliki peran penting dalam interaksi dengan produk rancangan. Menjadikan seni ruang dapat dinikmati oleh khalayak umum secara terbuka. Maka, muncul pandangan baru, ide maupun gagasan, unsur rancang tersebut meninggalkan kesan baik atau pun buruk. Kesan ini lah yang akan bertransformasi untuk menjawab problem rancang dalam lingkup individual hingga ranah sosial.

“Bangunan biar benda mati namun tidak berati tak “berjiwa”. Rumah yang kita bangun ialah rumah manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya dinapasi oleh kehidupan manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-citanya.” (Mangunwijaya, 1987. Wastu Citra Bagian 2 : Guna dan Citra)

Tempat tinggal dan lingkungan merupakan kebutuhan dasar manusia bertransformasi dari individu menjadi kelompok. Awalnya, manusia hidup nomaden dalam mencari sumber kehidupan, tetapi kemudian menetap ketika mampu mengelola lingkungan untuk kesejahteraan. Proses ini membentuk kesadaran akan ketergantungan terhadap alam, mendorong upaya pengelolaan dan pelestariannya. Demikian manusia membutuhkan ruang hunian sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Indonesia merupakan wilayah agraris. Memiliki beberapa pulau dan wilayah yang luas menjadikan setiap daerah berevolusi dalam pengembangan permukiman secara serentak. Hal ini menyebabkan transformasi kultural yang terjadi disetiap daerah berbeda-beda antara satu dengan daerah lainnya, meskipun memiliki sumber ide yang sama yang disebut dengan keselarasan (ekuilibrium).

Arstiektur tidak lepas dari konsep keselaran tersebut, bahkan sangat terikat antara satu dengan lainnya. Arsitektur dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dalam diri manusia. Baik itu kebutuhan individu, kecenderungan, kebiasaan, hingga hal yang mengikat dalam ruang sosial masyarakat, nilai-nilai primordial yang berasal dari sumber alam.

Nilai tersebut terpancar dalam sebuah bangunan, sukar bagi kita melihat adanya rumah-rumah adat terpisah dari lingkungannya. Seperti rumah Minangkabau dengan tebat dan suraunya, rumah adat Jawa dengan karang kitrinya yang terpisah dengan sawah sebagai tempat beraktifitas penghuninya setiap hari. Pikiran kolektif setiap wilayah tentang sebuah kepercayaan yang mutlak (Tuhan) dan keterkaitan unsur yang meliputi tanpa adanya segmentasi pikiran bersama (ide kosmologi). Nasr dalam bukunya, Islam dan Penderitaan Manusia Modern mengatakan, “berbagai kerusakan yang terjadi akibat sains, teknologi, dan ekonomi kapitalis sebenarnya berakar pada krisis spiritual. Sains, teknologi dan ekonomi merupakan kebutuhan manusia seharusnya tidak dipisahkan dari rangkulan spiritual sebagai check and ballance.”

Konsep tersebut memancarkan proses perkembangan kelompok masyarakat melalui penerjemahan perilaku, aktifitas, dan kebiasaan dari alam dan manusia dalam wujud “dialog budaya”. Dialog tersebut tak hanya berasal dari faktor internal namun ada peran dari nilai asing yang terbawa dalam kurun waktu relatif lama sehingga terakomodir dalam proses sintesa budaya lewat berbagai dialog budaya.

Ruang komunikasi seperti inilah yang perlu dibawa dalam dunia arsitektur bukan hanya terjebak dalam komunikasi visual, juga bukan hanya komunikasi inkomporasi komersial, tapi komunikasi akademik kultural. Kurangnya dialog dalam proses pembangunan tidak hanya membatasi interaksi antara kedua belah pihak, tetapi juga menciptakan segmentasi karena ruang dialog tidak terpusat.

Sehingga menciptakan kesadaran kolektif melalui proses dialog terbuka. Saat ini, ruang akademik yang tersentralisir menciptakan dialog akademik menjadi terbatas. Menjadikan arsitektur sebagai segmentasi keilmuan seni rupa, bangunan, tanpa melekatkan cipta guna, rasa, dan karsa.

“Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun karsa, Tut Wuri Handayani”. Tanda tanya besar di tengah polemik zaman saat ialah “Apakah Pendidikan telah gagal?” yang mana menyebabkan permasalahan lalu belum ada yang selesai, serta permasalahan baru mulai berdatangan? Pertanyaan tersebut seharusnya menjadi bahan refleksi setiap tahunnya baik untuk pribadi, kelompok, institusi bahkan negara sekali pun.

Antonio Gramsci (1987) dalam buku “Sejarah dan Budaya” memberi istilah intelektual organik bagi mereka yang sadar menggunakan ilmu pengetahuannya untuk berperan dalam lingkungan sosial. Perguruan tinggi mempunyai misi dalam menciptakan kesejahteraan sosial, mendorong wacana realitas kepada mahasiswanya sehingga menumbuhkan kepekaan terhadap problem sosial. Mahasiswa menjadi perpanjangan tangan perguruan tinggi sehingga peran ilmu pengetahuan dapat berjalan untuk menjawab permasalahan yang ada.

Arsitektur hanyalah alat pengetahuan, kita sebagai subjek dalam pembangunan dengan ide bisa menggambar keadaan, dengan pena kita dapat menerjemahkan pikiran. Maka dengan keputusan kita dapat merubah realitas sosial. Jangan jadikan masyarakat sebagai objek pembangunan, apalagi komoditas kekayaan semata.

Percuma jika ilmu tanpa dinapasi dengan amal, teori terjebak dalam diealektika, maka apa gunanya gelar mahasiswa yang menjadi pondasi masa depan bangsanya. seperti yang dikatakan W.S Rendra dalam puisinya “Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan?”. Marilah kita menjadi mahasiswa arsitektur yang mana “Memasyarakatkan arsitektur dan mengarsitekturkan masyarakat” (Eko Budi Raharjo dalam bukunya Menuju Arsitektur Indonesia).


Penulis : Bara Andana Subagyo (KABID PPPA HMI Komisariat Jabal Thareeq)

Editor : M Ali Makki


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERGURUAN TINGGI SEBAGAI PENYUMBANG DOSA DALAM DEMOKRASI INDONESIA

  Sahidatul Atiqah (Jihan) Departemen PSDP HMI  Komisariat Unitri Pada hakikatnya perguruan tinggi memiliki posisi strategis, yaitu menjadi instrumen mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari perguruan tinggi lahir generasi-generasi penerus yang berkapasitas baik untuk membangun dan meneruskan estafet kepemimpinan bagi sebuah bangsa. Selain itu perguruan tinggi memiliki tugas dan peran yang termuat dalam Tri Dharma salah satunya adalah pengabdian, perguruan tinggi memiliki ruang lingkup pengabdian yang luas, termasuk dalam ranah politik dan demokrasi yang membutuhkan kontribusi dari pihak-pihak terkait di perguruan tinggi. Dengan kata Lain kampus tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu tetapi juga menjadi garda terdepan dalam membentuk pemikiran kritis dan berpartisipasi aktif dalam mengawal demokrasi. Kampus tidak boleh mengabaikan keterlibatan dalam isu politik. Oleh karena itu, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mengawasi, mengawal, dan m...

Sebuah Wacana Menjelang Pilkada 2024

  Zul Fahmi Fikar (Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pembangunan Desa, HMI Cabang Malang) Kesejahteraan sebuah negara dilihat dari seorang pemimpinnya, demikian pula Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) harus dijadikan sebagai proses demokrasi yang sehat, kita sebagai masyarakat awam harus mampu menghindari politik transaksional yang membudaya di bangsa ini, agar pemilihan kepala daerah mendatang lebih bersih dan jauh dari kata curang, kotor dan lain sebagainya.  Karena 5 tahun ke depan bukan persoalan menang ataupun kalah dari kontestasi politik hari ini, akan tetapi bagaimana kita sama-sama fokus pada perubahan di setiap daerah yang kita tempati,berangkat dari itulah mengapa pentingnya kita sebagai warga negara Indonesia perlu jeli dalam menentukan pilihan, sebab dosa mendatang yang diperbuat oleh kepala daerah yang terpilih itu merupakan dosa besar kita bersama.  27 November 2024, pesta demokrasi akan diselenggarakan, yang mana kita sebagai masyarakat sama-sama berharap ...

Demi Party di Yudisium, Kampus UIBU Malang Poroti Mahasiswa

  Kampus UIBU Malang dan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Yudisium Malang, LAPMI - Universitas Insan Budi Utomo Malang yang biasa disebut kampus UIBU akan menggelar acara yudisium dengan tarif 750.000. Sesuai informasi yang beredar yudisium tersebut akan digelar pada hari Rabu (14 Agustus 2024) dan akan dikonsep dengan acara Party/Dj. Hal tersebut membuat kontroversi di kalangan mahasiswa UIBU lantaran transparansi pendanaan yang tidak jelas dan acara yudisium yang dikonsep dengan acara party/DJ. Salah satu mahasiswa berinisial W angkatan 2020 saat diwawancarai mengatakan bahwa Yudisium yang akan digelar sangat tidak pro terhadap mahasiswa dan juga menyengsarakan mahasiswa dikarenakan kenaikan pembayaran yang tidak wajar dan hanya memprioritaskan acara Party/Dj. “Yudisium yang akan digelar ini konsepnya tidak jelas dan tidak pro mahasiswa, tahun lalu tarifnya masih 500.000 tapi sekarang naik 250.000 menjadi 750.000, teman-teman kami tentu banyak yang merasakan keresehan ini. Pihak...